Friday 2 August 2013

Nilai Ekonomi Hutan Bakau


Oleh Harry Jusron

Kepala Bidang Indikator Sistem Iptek Nasional Kementerian Negara Riset dan Teknologi

Pesisir pantai Pulau Jawa adalah contoh paling nyata dari keserakahan manusia. Setiap tahun, hutan bakau di Pulau Jawa terus menyusut akibat ulah manusia, baik dibabat untuk kepentingan pertambakan maupun untuk pembangunan perumahan-perumahan mewah, dengan berbagai fasilitas di dalamnya.

Pada 1997 saja, luas hutan mangrove di Pulau Jawa sudah tinggal 19.077 hektare (ha) atau hanya tersisa sekitar 11,1956. Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha menjadi hanya 500 ha (8%), kemudian di Jawa Barat, dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5 ribu ha.

Sedangkan di Jawa Tengah, tinggal 13.577 ha, dari 46.500 ha (tinggal 29%). Sementara itu, luas tambak di Pulau Jawa adalah 128.740 ha, yang tersebar di Jawa Barat (50.330 ha), Jawa Tengah (30.497 ha), dan di Jawa Timur (47.913 ha).


Untung dan Buntung
Dalam satu dekade terakhir ini, penyusutan hutan bakau tidak hanya terjadi akibat pembukaan lahan untuk pertambakan, tapi lebih karena daya tarik ekonomi yang menjanjikan. Setiap tahun, ratusan ribu hektare hutan bakau dibabat dan diubah menjadi taman rekreasi atau perumahan mewah, dengan berbagai fasilitasnya yang juga tak kalah wah-nya, seperti lapangan golf dan pusat-pusat perbelanjaan.

Siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar dari berubahnya hutan bakau menjadi perumahan mewah? Pertama, tentu saja pengembang. Dengan kepemilikan lahan kosong yang siap bangun, para pengembang bisa dengan gampang menjualnya dengan harga jutaan rupiah per meter persegi. Harga tersebut bisa berlipat bila di atas tanah sudah didirikan bangunan mewah, seperti rumah, apartemen, atau pertokoan. Pengembang juga akan mendapatkan keuntungan dengan mengelola lapangan golf, sarana olahraga, dan sarana hiburan. Penikmat keuntungan selanjutnya adalah pebisnis yang memanfaatkan fasilitas yang ada untuk kegiatan bisnisnya, misalnya pertokoan dan perkantoran. Sebaliknya, masyarakat akan mendapatkan petaka dari perubahan fungsi hutan mangrove menjadi kompleks perumahan mewah. Perubahan fungsi hutan bakau berakibat pada turunnya kecepatan aliran sungai di daerah muara. Ini akan meningkatkan laju sedimentasi, sehingga sungai akan cepat dangkal dan menyebabkan luapan air di daerah hulu. Bila banjir tiba, masyarakat kelas bawah terendam, semen-tara penghuni perumahan mewah tetap nyaman.

Penduduk asli di sekitar hutan bakau juga sangat dirugikan akibat berubahnya fungsi hutan menjadi perumahan mewah. Ketika tempat rekreasi dan perumahan mewah telah selesai dibangun, penduduk asli yang berprofesi sebagai nelayan kecil harus mencari ikan jauh ke tengah laut, karena sekitar pantai telah dikuasai oleh pengembang. Hal ini menyebabkan penghidupan ekonomi mereka semakin sulit.

Masyarakat yang bertempat tinggal disekitar bantaran sungai juga akan dirugikan, karena dengan mendangkalnya dasar sungai di muara, maka muka air sungai akan lebih tinggi dibandingkan sebelum adanya reklamasi. Ketika turun hujan, maka air sungai akan lebih cepat meluap, yang kemudian menggenangi daerah bantaran, demikian pula ketika air laut naik.

Selain banjir, hilangnya hutan mangrove juga mengakibatkan hilangnya tempat berkembang biak udang, kepiting, ikan-ikan kecil, juga habitat untuk monyet, berbagai jenis burung, ular, dan binatang-binatang lainnya.

Bernilai Ekonomi Tinggi
Karena itu, hutan mangrove adalah anugerah Tuhan yang harus dipelihara dan dijaga oleh para pemangku kepentingan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisasi bahan-bahan pencemar. Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir.

Menurut Davis, Claridge, dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki banyak fungsi dan manfaat, yakni menjadi habitat jenis-jenis satwa, pelindung terhadap bencana alam, pengendapan lumpur, penambahan unsur hara, penghambat racun, sumber plasma nuftah, menjadi rekreasi dan pariwisata, sarana pendidikan dan penelitian, mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya, penyerapan karbon, memelihara iklim mikro, dan mencegah berkembangnya tanah sulfat masam.

Sementara itu, berdasarkan kajian ekonomi terhadap manfaat ekosistem hutan mangrove, hasilnya ternyata sangat mencengangkan. Hasil penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor dan Kantor Menteri Negara LH (1995) menyebutkan, nilai ekonomi total (total economic value/ TEV) hutan mengrove di Pulau Madura sebesar Rp 49 triliun, Irian Jaya Rp 329 triliun, Kalimantan Timur sebesar Rp 178 triliun, dan Jawa Barat Rp 1,357 triliun.

Bayangkan, jika dihitung TEV hutan mangrove untuk seluruh Indonesia. Di saat krisis seperti sekarang ini, Indonesia mungkin tak perlu harus mengemis pinjaman dari lembaga keuangan internasional atau negara-negara donor.

No comments:

Post a Comment